Monday, February 6, 2017

Cinta dan Jodoh itu Berbeda




  Langit mendung seakan membuktikan wajah pucat seorang laki-laki berumur 25 tahun, yang sedang duduk  menghisap sebatang rokok sambil menikmati secangkir kopi. Kopi pahit mungkin itu adalah kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan dan batin sang lelaki.  Awalnya ia berniat menghabiskan waktu dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaan yang belum kelar, namun pikiranya bagaikan terbungkus dalam sebuah kantong sampah yang entah harus dibuang kemana. Desakan orang tua untuk segera menikah seakan menganggu konsentrasinya.
“Nak! kapan kamu akan menikah?” pertanyaan ini seolah merobek semua harapannya. Bu aku belum ingin menikah dalam waktu dekat ini, penghasilan ku saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan ku, bagaimana aku menghidupi anak orang bu.” Ahmad, berapapun penghasilan mu tidak akan pernah cukup jika tidak ada orang yang bisa memenej keuangan mu. Kalau kamu menikah istri mu akan memenej semua keuangan mu, bukan hanya itu kalian juga akan belajar bagaimana cara memprioritaskan hal-hal yang menjadi keperluan mendesak. “ayah, aku ini laki-laki aku bisa menikah kapan saja aku mau, tapi ini bukan hanya persoalan ekonomi tapi persoalan siap, aku belum siap. Dan lagi pula aku masih punya adik-adik yang perlu uang, aku ingin membantu ayah membiayai sekolah adik-adik.”
       Pernikahan memang bukan persoalan yang mudah. Sebab untuk membangun sebuah rumah tangga seorang kepala keluarga bukan hanya berfungsi memberi nafkah tapi juga mendidik istri dan anak-anak mereka kepada kebaikan. Pertanyaan serupa kerap kali terlontar dari mulut sepasang suami istri yang ingin anak sulungnya segera menikah. Namun disisi lain Ahmad merasa belum menemukan sosok yang cocok untuk dijadikan pelabuhan terakhir. Selain tergolong sosok yang setia ia juga sosok yang penyanyang, buktinya Ahmad sangat menyayangi adik-adiknya, memberikan perhatian bahkan tidak jarang ia menasehati adik-adiknya. “jangan mudah menyerah, kehidupan ini semakin keras, jika bukan kita maka pasti orang lain.”
       “Bu, hari ini aku pamit pulang ke Palopo, banyak pekerjaan yang menunggu untuk segera diselesaiakan.”
“apa tidak bisa ditunda sampai besok nak? ibu kan hari berencana mengadakan syukuran atas kelulusan adik mu di sebuah perguruan tinggi Negeri.”
 “anggap sama saja jikalau saya ikut syukuran bu, aku benar-benar tidak bisa menunda kepulangan sampai besok. Aku sudah janji kepada seseorang untuk mengambil laptopnya sore ini.” Setelah lulus SI Sarjana Informatika Komputer Ahmad memilih mendirikan sebuah usaha service dan jual beli computer, bantuan dana dari sang ayah.
       Acara syukuran pun dilangsungkan, satu dua tamu telah hadir, dengan membawa buah tangan sesuai dengan adat warga di desa Kapidi ini, jika hendak berkunjung ke acara syukuran membawa buah tangan biasanya berisi gula pasir ataupun beras, ada juga yang hanya membawa amplop lalu diberikan kepada tuan rumah. “bu, hajja kapan acara pernikahan ? Jangan acara syukuran terus.” seorang ibu berusia 45 tahun merubah arah pembicaraan yang tadinya mereka sibuk membahas harga minyak nilam yang tidak stabil. Dan beberapa ibu lain ikut angkat bicara “ iyya ini bu hajja” “Ahmad sudah seharusnya menikah. Usianya sudah mapan, apalagi sudah punya penghasilan sendiri.” Tambah seorang ibu yang lainnya.
 “Mohon doanya saja ya ibu.” ibu Ahmad masih fokus dengan kerjaannya.. jawab ibu Tini dengan nada menandakan penjelasan.
       Pukul 17 lewat 10 menit rumah yang tadinya ramai dengan warga setempat perlahan sepi, menyisakan satu dua keluarga dan tetangga terdekat yang membantu membereskan perlengkapan dan peralatan syukuran. Beberapa ibu-ibu membantu di dapur, anak-anak remaja putri menyapu dan mengepel, sementara remaja putra sebagian membantu ayah mereka membersihkan tenda dan menyusun kursi. Tepat sebelum adzan magrib berkumandang semua pekerjaan pun selesai.
       Pancaran mentari pagi perlahan menembus sudut-sudut jendela rumah panggung milik bendahara kelompok tani tersebut. Sepagi ini suara-suara kendaraan mulai bising, sebagian besar penduduk desa kapidi meninggalkan rumah untuk melakukan aktivitas keseharian yaitu berkebun. Sementara anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk berangkat kesekolah. Hari ini anak kedua pak Arsyad akan ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi negri.
Hati orang tua mana yang tak sedih dan  tak sesak saat ditinggal putrinya, salah satu yang paling sedih adalah seorang ibu, dia tidak akan pernah sanggup berpisah lama dengan gadis kesayanganya. 18 tahun besar disebuah desa yang padat penduduk, tentu bukan hal yang mudah untuk meninggalkan semua kenangan dan orang-orang terdekatnya.
       Sepeninggal putrinya ke Makassar pasangan suami istri ini tidaklah terkatung-katung dalam kerinduan pada anak gadis dan putra sulungnya yang sama-sama mengejar impian.  Sebab mereka masih mempunyai dua anak yang masih sekolah di SMP, dan SD. Anak sulungnya yang mendirikan usaha di palopo, walaupun jarak antara palopo ke masamba hanya memakan waktu 3 – 4 jam, tapi tidak mungkin sang anak akan pulang setiap saat.
Dering telepon genggam berbunyi dengan nada yang cukup membuat penghuni telinga seolah hampir keluar. “Halo bu, ibu apa kabar?”
 “Sehat, kamu sendiri bagaimana nak?” 
“Alhamdulillah Ahmad juga sehat bu, ayah dan adik-adik juga sehat to bu?”
 “Iya nak ayah dan adik-adik mu sehat.”
“Nak, kapan kamu pulang?”
 “Loh bu, aku kan baru seminggu yang lalu balik, kok mau balik lagi.” Durasi pembicaraan 10 menit, hanya membahas keadaan masing-masing pihak hingga telepon ditutup dari seberang sana.
       Beberapa minggu yang lalu keluarga H. A. Palenrungi datang berkunjung kerumah H. arsyad, “pak bagaimana kalau kita jodohkan saja Ahmad dengan anaknya H. A. Palenrunggi, ibu lihat Sintia anaknya baik, seorang guru lagi.” Sepasang suami istri ini lagi-lagi mengungkit persoalan anak sulungnya.
“Halo, Ahmad ayah minta besok pagi kamu pulang ya nak, kenapa ayah, ayah dan semua baik-baik saja? Tenang saja, ayah, ibu dan adik-adik mu baik-baik saja. Ibu mu kangen. Tidak mungkin adik mu Tina yang di Makassar yang Mesti pulang.”  Baiklah besok lusa saya akan pulang, mungkin tidak besok ada laptop yang harus di servis dulu. Baiklah nak, sembari menutup telpon.
       Gemuru air hujan terdengar menerpa atap rumah yang beratapkan seng itu, Hujannya sangat deras. Ada yang mengatakan  berdoalah kala hujan turun sebab disaat itulah doa-doa mudah diijabah oleh Allah, itulah yang dilakukan ibu separuh baya yang memiliki empat anak ini, saat sholat isya ia berdoa agar anak sulungnya segera dipertemukan dengan jodohnya, mengingat usianya dan suami yang sebentar lagi memasuki kepala lima. Dari balik kain horden tampak Ahmad dan ayahnya tengah membicarakan sesuatu. “Nak yang harus kamu ingat usia ayah dan ibu, kami hanya ingin melihat kamu segera berkeluarga, kelak kamu akan mengajarkan adik-adikmu bagaimana cara membina rumah tangga, jika kami telah tiada nanti.” Ahmad duduk diam tanpa suara. “Setidaknya sebelum kami tiada kami ingin menunaikan salah satu kewajiban kami yaitu menikahkan putra kami.” Belum sempat Ahmad mengeluarkan sepatah kata ibunya menyambung perkataan  ayahnya “Anaknya pak H. A. Palenrungi cantik, seorang guru pula. Sepertinya dia cocok dengan mu.” Ahmad yang sedari tadi hanya menelan ludah dalam mulutnya yang mulai kering, seolah tidak bisa berkata apa-apa. Perkataan ibunya kali ini sudah cukup menyakiti hatinya, apa ia pikir anaknya ini tidak laku apa, sampai-sampai orang tua yang harus mencarikan jodoh untuknya.
      Berbaring terlentang mungkin adalah cara terbaik untuk mengusir penak di kepala, memandangi langit-langit kamar berplafon dan terdapat beberapa sarang laba-laba disana, ia mengisyaratkan hatinya sekarang hinggap pada salah satu sarang laba-laba itu. Yang ia garis bawahi dari perkataan ayahnya tadi adalah Setidaknya sebelum kami tiada kami ingin menunaikan salah satu kewajiban kami yaitu menikahkan putra kami. Kata-kata itu seolah membuat mulutnya terkunci dan membuat matanya berkaca-kaca. Bukan persoalan pernikahan namun ia sangat takut kehilang ayah, ibunya begitu cepat.
     semilir angin membawa terbang  burung-burung mencari makan, tentu saja memberi kesejukan bagi jiwa mahluk hidup lainnya. Namun tidak dengan jiwa mahluk hidup yang satu ini, Jiwanya bagai diguncang oleh badai yang kuat. Ia sama sekali tidak memikirkan dengan bisnisnya sekarang. “Ahmad, pikirkan baik-baik. Ibu tentu tidak akan memaksa mu jika memang kamu punya pilihan lain, kami orang tua berusaha mencarikan yang terbaik.”
 “Nak, apa memang kamu punya pujaan hati yang lain?”
”Jika ia kenalkan pada kami, keturan apa, bagaimana adat mereka, namun jika boleh saran ibu carilah yang satu paham dengan kita, agar supaya tidak menimbulkan pergesaran nilai-nilai budaya antar keluarga.”
       Sudah seminggu Ahmad tinggal di kampung dan memberikan kepercayaan kepada temannya untuk mengelola usahanya di Palopo, tentu bukan perkara mudah menentukan pilihan secara cepat. Ia sepertinya butuh waktu kurang lebih sebulan untuk memutuskan langkah apa yang hendak ia ambil. Saat makan siang nanti ia berencana memberanikan diri untuk memberikan penjelasan kepada kedua orang tuanya . “Ibu, Ayah, sudah ku putuskan, aku akan menikah.” Nada suaranya kali ini lantas tanpa tersendak sama sekali, sepertinya kata-kata ini sudah ada diluar kepalanya. “Kamu yakin ?” ayahnya menanggapinya dengan cekatan. “Tapi dengan pilihan ku sendiri. Ayah dan Ibu tidak perlu repot mencarikan jodoh untukku, namun sebelumnya beri aku waktu untuk hal itu.” Ia tidak ingin salah dalam memilih jodoh yang akan menemaninya seumur hidup.
       Sebulan berlalu Ahmad pun akhirnya memutuskan untuk ikut dengan pilihan orang tuanya walau sebelumnya ia berencana akan menikah dengan orang pilihannya sendiri. Acara lamaran pun hari ini akan di langsungkan.
 “Kamu sudah yakin dengan keputusan mu?”
 “Bismillah bu, saya sudah yakin.” Memilih menikah dengan orang yang belum kita kenal sebelumnya, bukan perkara yang mudah untuk di lalui,  mereka harus kembali kemasa dimana anak remaja sering katakan PDKT.
       Daun-daun yang diterpa angin seakan ikut menari merasakan kebahagian pasangan pengantin yang tengah duduk bersanding di pelaminan. Karena sesungguhnya konsep cinta dan jodoh itu berbeda, jodoh kita bisa ditentukan oleh orang tua namun tidak dengan cinta sebab jatuh cinta hanya kita yang mampu merasakan detakan demi detakan, dan dengan siapa kita akan jatuh cinta.




No comments:

Post a Comment