Langit
mendung seakan membuktikan wajah pucat seorang laki-laki berumur 25 tahun, yang
sedang duduk menghisap sebatang rokok
sambil menikmati secangkir kopi. Kopi pahit mungkin itu adalah kata yang tepat
untuk mengungkapkan perasaan dan batin sang lelaki. Awalnya ia berniat menghabiskan waktu dengan
laptop untuk mengerjakan pekerjaan yang belum kelar, namun pikiranya bagaikan
terbungkus dalam sebuah kantong sampah yang entah harus dibuang kemana. Desakan
orang tua untuk segera menikah seakan menganggu konsentrasinya.
“Nak! kapan kamu akan menikah?”
pertanyaan ini seolah merobek semua harapannya. Bu aku belum ingin menikah
dalam waktu dekat ini, penghasilan ku saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
ku, bagaimana aku menghidupi anak orang bu.” Ahmad, berapapun penghasilan mu
tidak akan pernah cukup jika tidak ada orang yang bisa memenej keuangan mu.
Kalau kamu menikah istri mu akan memenej semua keuangan mu, bukan hanya itu
kalian juga akan belajar bagaimana cara memprioritaskan hal-hal yang menjadi
keperluan mendesak. “ayah, aku ini laki-laki aku bisa menikah kapan saja aku
mau, tapi ini bukan hanya persoalan ekonomi tapi persoalan siap, aku belum
siap. Dan lagi pula aku masih punya adik-adik yang perlu uang, aku ingin
membantu ayah membiayai sekolah adik-adik.”
Pernikahan memang bukan persoalan yang mudah. Sebab untuk membangun
sebuah rumah tangga seorang kepala keluarga bukan hanya berfungsi memberi
nafkah tapi juga mendidik istri dan anak-anak mereka kepada kebaikan. Pertanyaan
serupa kerap kali terlontar dari mulut sepasang suami istri yang ingin anak
sulungnya segera menikah. Namun disisi lain Ahmad merasa belum menemukan sosok
yang cocok untuk dijadikan pelabuhan terakhir. Selain tergolong sosok yang
setia ia juga sosok yang penyanyang, buktinya Ahmad sangat menyayangi
adik-adiknya, memberikan perhatian bahkan tidak jarang ia menasehati
adik-adiknya. “jangan mudah menyerah, kehidupan ini semakin keras, jika bukan
kita maka pasti orang lain.”
“Bu, hari ini aku pamit pulang ke Palopo, banyak pekerjaan yang menunggu
untuk segera diselesaiakan.”
“apa tidak bisa ditunda sampai besok nak?
ibu kan hari berencana mengadakan syukuran atas kelulusan adik mu di sebuah
perguruan tinggi Negeri.”
“anggap sama saja jikalau saya ikut syukuran bu,
aku benar-benar tidak bisa menunda kepulangan sampai besok. Aku sudah janji
kepada seseorang untuk mengambil laptopnya sore ini.” Setelah lulus SI Sarjana
Informatika Komputer Ahmad memilih mendirikan sebuah usaha service dan jual
beli computer, bantuan dana dari sang ayah.
Acara syukuran pun dilangsungkan, satu dua tamu telah hadir, dengan
membawa buah tangan sesuai dengan adat warga di desa Kapidi ini, jika hendak
berkunjung ke acara syukuran membawa buah tangan biasanya berisi gula pasir
ataupun beras, ada juga yang hanya membawa amplop lalu diberikan kepada tuan
rumah. “bu, hajja kapan acara pernikahan ? Jangan acara syukuran terus.”
seorang ibu berusia 45 tahun merubah arah pembicaraan yang tadinya mereka sibuk
membahas harga minyak nilam yang tidak stabil. Dan beberapa ibu lain ikut angkat
bicara “ iyya ini bu hajja” “Ahmad sudah seharusnya menikah. Usianya sudah
mapan, apalagi sudah punya penghasilan sendiri.” Tambah seorang ibu yang
lainnya.
“Mohon
doanya saja ya ibu.” ibu Ahmad masih fokus dengan kerjaannya.. jawab ibu Tini
dengan nada menandakan penjelasan.
Pukul 17 lewat 10 menit rumah yang tadinya ramai dengan warga setempat
perlahan sepi, menyisakan satu dua keluarga dan tetangga terdekat yang membantu
membereskan perlengkapan dan peralatan syukuran. Beberapa ibu-ibu membantu di
dapur, anak-anak remaja putri menyapu dan mengepel, sementara remaja putra
sebagian membantu ayah mereka membersihkan tenda dan menyusun kursi. Tepat sebelum
adzan magrib berkumandang semua pekerjaan pun selesai.
Pancaran mentari pagi perlahan menembus sudut-sudut jendela rumah
panggung milik bendahara kelompok tani tersebut. Sepagi ini suara-suara
kendaraan mulai bising, sebagian besar penduduk desa kapidi meninggalkan rumah
untuk melakukan aktivitas keseharian yaitu berkebun. Sementara anak-anak mereka
telah meninggalkan rumah untuk berangkat kesekolah. Hari ini anak kedua pak
Arsyad akan ke Makassar untuk melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi
negri.
Hati orang tua mana yang tak sedih
dan tak sesak saat ditinggal putrinya,
salah satu yang paling sedih adalah seorang ibu, dia tidak akan pernah sanggup
berpisah lama dengan gadis kesayanganya. 18 tahun besar disebuah desa yang
padat penduduk, tentu bukan hal yang mudah untuk meninggalkan semua kenangan
dan orang-orang terdekatnya.
Sepeninggal putrinya ke Makassar pasangan suami istri ini tidaklah
terkatung-katung dalam kerinduan pada anak gadis dan putra sulungnya yang
sama-sama mengejar impian. Sebab mereka
masih mempunyai dua anak yang masih sekolah di SMP, dan SD. Anak sulungnya yang
mendirikan usaha di palopo, walaupun jarak antara palopo ke masamba hanya
memakan waktu 3 – 4 jam, tapi tidak mungkin sang anak akan pulang setiap saat.
Dering telepon genggam berbunyi dengan
nada yang cukup membuat penghuni telinga seolah hampir keluar. “Halo bu, ibu
apa kabar?”
“Sehat,
kamu sendiri bagaimana nak?”
“Alhamdulillah Ahmad juga sehat bu, ayah
dan adik-adik juga sehat to bu?”
“Iya nak ayah dan adik-adik mu sehat.”
“Nak, kapan kamu pulang?”
“Loh
bu, aku kan baru seminggu yang lalu balik, kok mau balik lagi.” Durasi
pembicaraan 10 menit, hanya membahas keadaan masing-masing pihak hingga telepon
ditutup dari seberang sana.
Beberapa minggu yang lalu keluarga H. A. Palenrungi datang berkunjung
kerumah H. arsyad, “pak bagaimana kalau kita jodohkan saja Ahmad dengan anaknya
H. A. Palenrunggi, ibu lihat Sintia anaknya baik, seorang guru lagi.” Sepasang
suami istri ini lagi-lagi mengungkit persoalan anak sulungnya.
“Halo, Ahmad ayah minta besok pagi kamu
pulang ya nak, kenapa ayah, ayah dan semua baik-baik saja? Tenang saja, ayah,
ibu dan adik-adik mu baik-baik saja. Ibu mu kangen. Tidak mungkin adik mu Tina
yang di Makassar yang Mesti pulang.” Baiklah
besok lusa saya akan pulang, mungkin tidak besok ada laptop yang harus di
servis dulu. Baiklah nak, sembari menutup telpon.
Gemuru air hujan terdengar menerpa atap rumah yang beratapkan seng itu,
Hujannya sangat deras. Ada yang mengatakan
berdoalah kala hujan turun sebab disaat itulah doa-doa mudah diijabah
oleh Allah, itulah yang dilakukan ibu separuh baya yang memiliki empat anak
ini, saat sholat isya ia berdoa agar anak sulungnya segera dipertemukan dengan
jodohnya, mengingat usianya dan suami yang sebentar lagi memasuki kepala lima.
Dari balik kain horden tampak Ahmad dan ayahnya tengah membicarakan sesuatu.
“Nak yang harus kamu ingat usia ayah dan ibu, kami hanya ingin melihat kamu
segera berkeluarga, kelak kamu akan mengajarkan adik-adikmu bagaimana cara
membina rumah tangga, jika kami telah tiada nanti.” Ahmad duduk diam tanpa
suara. “Setidaknya sebelum kami tiada kami ingin menunaikan salah satu kewajiban
kami yaitu menikahkan putra kami.” Belum sempat Ahmad mengeluarkan sepatah kata
ibunya menyambung perkataan ayahnya
“Anaknya pak H. A. Palenrungi cantik, seorang guru pula. Sepertinya dia cocok
dengan mu.” Ahmad yang sedari tadi hanya menelan ludah dalam mulutnya yang
mulai kering, seolah tidak bisa berkata apa-apa. Perkataan ibunya kali ini
sudah cukup menyakiti hatinya, apa ia pikir anaknya ini tidak laku apa,
sampai-sampai orang tua yang harus mencarikan jodoh untuknya.
Berbaring terlentang mungkin adalah cara terbaik untuk mengusir penak di
kepala, memandangi langit-langit kamar berplafon dan terdapat beberapa sarang
laba-laba disana, ia mengisyaratkan hatinya sekarang hinggap pada salah satu
sarang laba-laba itu. Yang ia garis bawahi dari perkataan ayahnya tadi adalah Setidaknya sebelum kami tiada kami ingin
menunaikan salah satu kewajiban kami yaitu menikahkan putra kami. Kata-kata
itu seolah membuat mulutnya terkunci dan membuat matanya berkaca-kaca. Bukan
persoalan pernikahan namun ia sangat takut kehilang ayah, ibunya begitu cepat.
semilir angin membawa terbang burung-burung
mencari makan, tentu saja memberi kesejukan bagi jiwa mahluk hidup lainnya.
Namun tidak dengan jiwa mahluk hidup yang satu ini, Jiwanya bagai diguncang
oleh badai yang kuat. Ia sama sekali tidak memikirkan dengan bisnisnya
sekarang. “Ahmad, pikirkan baik-baik. Ibu tentu tidak akan memaksa mu jika
memang kamu punya pilihan lain, kami orang tua berusaha mencarikan yang
terbaik.”
“Nak, apa memang kamu punya pujaan hati yang
lain?”
”Jika ia kenalkan pada kami, keturan
apa, bagaimana adat mereka, namun jika boleh saran ibu carilah yang satu paham
dengan kita, agar supaya tidak menimbulkan pergesaran nilai-nilai budaya antar
keluarga.”
Sudah seminggu Ahmad tinggal di kampung dan memberikan kepercayaan
kepada temannya untuk mengelola usahanya di Palopo, tentu bukan perkara mudah
menentukan pilihan secara cepat. Ia sepertinya butuh waktu kurang lebih sebulan
untuk memutuskan langkah apa yang hendak ia ambil. Saat makan siang nanti ia
berencana memberanikan diri untuk memberikan penjelasan kepada kedua orang
tuanya . “Ibu, Ayah, sudah ku putuskan, aku akan menikah.” Nada suaranya kali
ini lantas tanpa tersendak sama sekali, sepertinya kata-kata ini sudah ada
diluar kepalanya. “Kamu yakin ?” ayahnya menanggapinya dengan cekatan. “Tapi
dengan pilihan ku sendiri. Ayah dan Ibu tidak perlu repot mencarikan jodoh
untukku, namun sebelumnya beri aku waktu untuk hal itu.” Ia tidak ingin salah
dalam memilih jodoh yang akan menemaninya seumur hidup.
Sebulan berlalu Ahmad pun akhirnya memutuskan untuk ikut dengan pilihan
orang tuanya walau sebelumnya ia berencana akan menikah dengan orang pilihannya
sendiri. Acara lamaran pun hari ini akan di langsungkan.
“Kamu sudah yakin dengan keputusan mu?”
“Bismillah
bu, saya sudah yakin.” Memilih menikah dengan orang yang belum kita kenal
sebelumnya, bukan perkara yang mudah untuk di lalui, mereka harus kembali kemasa dimana anak
remaja sering katakan PDKT.
Daun-daun yang diterpa angin seakan ikut menari merasakan kebahagian
pasangan pengantin yang tengah duduk bersanding di pelaminan. Karena
sesungguhnya konsep cinta dan jodoh itu berbeda, jodoh kita bisa ditentukan
oleh orang tua namun tidak dengan cinta sebab jatuh cinta hanya kita yang mampu
merasakan detakan demi detakan, dan dengan siapa kita akan jatuh cinta.
No comments:
Post a Comment