Malu rasanya harus
mendeskripsikan sesuatu yang pada kenyataanya merupakan penyakit sejuta umat.
Minat membaca telah berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan formal
bangsa ini yang merupakan indikator sumber daya manusia (SDM). Kondidi
pendidikan suatu Negara dilihat dari kebiasaan masyarakatnya membaca buku.
Menurut Direktur
Eksekutif Kompas Gramedia, Suwandi S. Subrata, pada tahun 2011 tercatat
produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul buku. Jika dibandingkan dengan
penduduk Indonesia yang banyaknya sekitar 240 juta, sungguh memalukan. Satu
buku dibaca 80.000 orang. Berdasarkan hasil survey dari UNDP, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada tahun 2014 menempati urutan ke 108
dari 187 negara di dunia. IPM Indonesia lebih tinggi dibandingkan Myanmar,
Laos, kamboja, Vietnam, dan Filipina. Ibarat sebuah perlombaan Indonesia menempati
urutan yang sangat mengkhawatirkan.
Bangsa Jepang adalah
bangsa yang membudayakan membaca. Ibarat sandang, pangan, dan papan membaca merupakan kebutuhan yang harus
ada dalam kehidupan mereka setiap harinya. Dalam sejarah bangsa Jepang, pada
tahun 1945, kota Nagasaki dan Hiroshima pernah di jatuhi bom atom oleh sekutu.
Dari kejadian itulah membangkitkan semangat bangsa Jepang untuk menjadi Negara
maju. Cara yang paling istimewa adalah mengumpulkan para guru dari berbagai
kalangan, menerjemahkan buku-buku asing dari Barat sehingga kepedulian
pemerintah dalam sistem pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa.
Tentu hal ini menjadi
bukti nyata bahwa Negara Indonesia tengah memiliki masalah besar dalam hal
pendidikan. Pendidikan itu diawali dengan membaca buku sebagai referensi, bahkan
buku di ciptakan untuk di baca oleh berbagai kalangan, bukan hanya anak yang
tengah mengenyam pendidikan di bangku pendidikan formal ataupun non formal.
Sebab kebiasan yang di tanamkan sejak dini akan di bawa sampai usia tidak lagi
muda.
Sebagai Negara yang
telah lama merdeka tentu harapan kita dan seluruh pejabat pemerintahan menginginkan
bangsa ini menjadi bangsa yang unggul, terutama dalam segi pendidikan. Banyak
upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat baca, seperti pembangunan
perpustakaan dan memperbanyak taman baca di lingkungan masyarakat. yang paling
utama adalah kesadaran terhadap diri sendiri.
Bangsa yang gemar
membaca adalah mereka yang dibesarkan dari lingkungan cinta membaca. Jika ada
anak yang tidak suka membaca berarti dari awal ia telah di didik untuk tidak
gemar membaca. Orang tua adalah indikator yang berperan penting dalam usaha
mendidik anak usia dini.
Nah,
apa yang menjadi penyebab:
Kantor perpustakaan Nasional Republik
Indonesia mencatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton
televisi dan tentu tidak suka membaca. Dibuktikan dengan sistem pembelajaran di
Indonesia tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku dibandingkan
dengan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang mewajibkan para
peserta didiknya untuk menamatkan minimal enam buku, hal ini pun masih berlangsung
hingga sekarang. Bagaimana dengan Indonesia ? sekolah mungkin juga telah
menerapkan aturan bagi para siswa-siswi untuk rajin membaca bahkan setiap anak
di wajibkan meminjam buku dari perpustakaan untuk mereka bawa pulang dan mereka
baca. Namun, apa yang terjadi setelah buku itu sampai di rumah, buku itu hanya
menjadi hiasan di atas meja belajar yang akan di buka jika orang tua menegur
dan itupun jarang terjadi.
Anak usia di bawah 10
tahun sebenarnya adalah anak yang mudah untuk di bentuk karakternya, karena
usia mereka adalah usia dimana mereka ingin mengetahui segala hal dan ini
merupakan kesempatan emas bagi para orang tua untuk membentuk karakter yang
baik kepada anak-anak, dan mengajarkan hal-hal postif. Jika mereka telah
dibiasakan dengan membaca buku niscaya tidak afdol rasanya jika mereka tidak
menamatkan buku dalam sebulanya. Karena otak mereka telah menyimpan pesan bahwa
“bacalah buku”.
Kenapa
harus Menonton:
Ada yang mengatakan menonton adalah
sarana belajar bagi anak-anak. Jelas jika yang di tonton bersifat mendidik. Nyatanya
di lingkungan sekitar, siaran yang di gemari anak-anak usia 10 tahun ke atas
adalah siaran yang memperbudak mereka. Mempertontonkan hal-hal yang mustahil
terjadi di masyarakat. ini telah merusak logika berpikir anak-anak Indonesia.
Membaca merupakan
sarana belajar yang paling mudah, namun sulit untuk dilakukan. Entah apa yang
membuat cara ini sulit, padahal telah kita ketahui bahwa membaca adalah sarana
membuka jendela dunia. Mengetahui segala seluk beluk kehidupan dari berbagai aspek
kehidupan, memalukan sekali jika suatu ketika ada yang bertanya letak sebuah
Negara dengan ibukotanya lantas kita tidak mampu menjawab hanya karena
keterbatasan ilmu pengetahuan yang kita miliki. Coba bandingkan dengan jenjang
pendidikan yang telah kita tempuh.
Mari segenap
generasi-generasi muda bangsa Indonesia kita budayakan dan biasakan diri untuk
membaca paling tidak, membaca pengumuman ataupun spanduk yang terpasang di
jalan. Jadikan negeri ini unggul dalam segi pendidikan dan cinta membaca.